Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Widget Atas Posting

Hadirnya putra batara indra atau satrio piningit

Hadirnya putra batara indra atau satrio piningit





Disini akan diceritakan Ciri 2  hadirny Putera batera indra menurut Ramalan joyoboyo keterangannya sebagai berikut:
Serat Musarar Joyoboyo
Di dalam uraian ini saya akan mengawali dengan menandai suatu masa atau periode dalam Sinom bait 18 yang berbunyi :
”Dene jejuluke nata, Lung gadung rara nglingkasi, Nuli salin gajah meta, Semune tengu lelaki, Sewidak warsa nuli, Ana dhawuhing bebendu, Kelem negaranira, Kuwur tataning negari, Duk semana pametune wong ing ndesa.”

”Nama rajanya Lung gadung rara nglikasi kemudian berganti gajah meta semune tengu lelaki. Enam puluh tahun menerima kutukan sehingga tenggelam negaranya dan hukum tidak karu-karuan. Waktu itu pajaknya rakyat adalah..”

Lung gadung rara nglikasi memiliki makna yaitu pemimpin yang penuh inisiatif (cerdas) namun memiliki kelemahan sering tergoda wanita. Perlambang ini menunjuk kepada presiden pertama RI, Soekarno. Sedangkan Gajah meta semune tengu lelaki bermakna pemimpin yang kuat karena disegani atau ditakuti namun akhirnya terhina atau nista. Perlambang ini menunjuk kepada presiden kedua RI, Soeharto. Dalam bait ini juga dikatakan bahwa negara selama 60 tahun menerima kutukan sehingga tidak ada kepastian hukum. Ingat, usia kemerdekaan NKRI di tahun 2007 saat ini adalah 62 tahun.
Dalam bait 20 dikatakan :
”Bojode ingkang negara, Narendra pisah lan abdi, Prabupati sowang-sowang, Samana ngalih nagari, Jaman Kutila genti, Kara murka ratunipun, Semana linambangan, Dene Maolana Ngali, Panji loro semune Pajang Mataram.”

”Negara rusak. Raja berpisah dengan rakyat. Bupati berdiri sendiri-sendiri. Kemudian berganti jaman Kutila. Rajanya Kara Murka. Lambangnya Panji loro semune Pajang Mataram.”

Bait ini menggambarkan situasi negara yang kacau. Pemimpin jauh dari rakyat, dan dimulainya era baru dengan apa yang dinamakan otonomi daerah sebagai implikasi bergulirnya reformasi (Jaman Kutila). Karakter pemimpinnya saling jegal untuk saling menjatuhkan (Raja Kara Murka). Perlambang Panji loro semune Pajang – Mataram bermakna ada dua kekuatan pimpinan yang berseteru, yang satu dilambangkan dari trah Pajang (Joko Tingkir), dan yang lain dilambangkan dari trah Mataram (Pakubuwono). Hal ini menunjuk kepada era Gus Dur dan Megawati.
Lalu pada bait 21 tertulis :
”Nakoda melu wasesa, Kaduk bandha sugih wani, Sarjana sirep sadaya, Wong cilik kawelas asih, Mah omah bosah-basih, Katarajang marga agung, Panji loro dyan sirna, Nuli Rara ngangsu sami, Randha loro nututi pijer tetukar.”

”Nakhoda ikut serta memerintah. Punya keberanian dan kaya. Sarjana (orang pandai) tidak berdaya. Rakyat kecil sengsara. Rumah hancur berantakan diterjang jalan besar. Kemudian diganti dengan lambang Rara ngangsu, randha loro nututi pijer tetukar.”

Situasi negara dalam bait ini digambarkan bahwa kekuatan asing memiliki pengaruh yang sangat besar. Orang pandai berpendidikan tinggi dilambangkan tidak berdaya (pinter keblinger). Kondisi rakyat kecil makin sengsara saja. Perlambang Rara ngangsu, randha loro nututi pijer tetukar bermakna seorang pemimpin wanita yang selalu diintai oleh dua saudara wanitanya seolah ingin menggantikan. Perlambang ini menunjuk kepada Megawati, presiden RI kelima yang selalu dibayangi oleh Rahmawati dan Sukmawati.
Pada bait 22 dikatakan :
”Tan kober paes sarira, Sinjang kemben tan tinolih, Lajengipun sinung lambang, Dene Maolana Ngali, Samsujen Sang-a Yogi, Tekane Sang Kala Bendu, Ing Semarang Tembayat, Poma den samya ngawruhi, Sasmitane lambang kang kocap punika.”

”Tan kober paes sarira, Sinjang kemben tan tinolih itu sebuah lambang yang menurut Seh Ngali Samsujen datangnya Kala Bendu. Di Semarang Tembayat itulah yang mengerti/memahami lambang tersebut.”

Perlambang Tan kober paes sarira, Sinjang kemben tan tinolih bermakna pemimpin yang tidak sempat mengatur negara karena direpotkan dengan berbagai masalah. Ini menunjuk kepada presiden RI keenam saat ini yaitu Susilo Bambang Yudhoyono. Sedangkan perlambang Semarang Tembayat merupakan tempat dimana tempat seseorang memahami dan mengetahui solusi dari apa yang terjadi. Semarang Tembayat merupakan tempat yang masih misteri dimana di dalam Surat Terbuka kepada SBY bapak Budi Marhaen menggambarkan sbb :
”Jawaban dan solusi guna mengatasi carut marut keadaan bangsa ini ada di ”Semarang Tembayat” yang telah diungkapkan oleh Prabu Joyoboyo. Guna membantu memecahkan misteri ini dapatlah saya pandu sebagai berikut :

Sunan Tembayat adalah Bupati pertama Semarang. Sedangkan tempat yang dimaksud adalah lokasi dimana Kanjeng Sunan Kalijaga memerintahkan kepada Sunan Tembayat untuk pergi ke Gunung Jabalkat (Klaten). Secara potret spiritual, lokasi itu dinamakan daerah “Ringin Telu” (Beringin Tiga), berada di daerah pinggiran Semarang.

Semarang Tembayat juga bermakna Semarang di balik Semarang. Maksudnya adalah di balik lahir (nyata), ada batin (gaib). Kerajaan gaib penguasa Semarang adalah “Barat Katiga”. Insya Allah lokasinya adalah di daerah “Ringin Telu” itu.

Semarang Tembayat dapat diartikan : SEMARANG TEMpatnya BArat DaYA Tepi. Dapat diartikan lokasinya adalah di Semarang pinggiran arah Barat Daya.”

Kemudian pada bait 27 berbunyi :
“Dene besuk nuli ana, Tekane kang Tunjung putih, semune Pudhak kasungsang, Bumi Mekah dennya lair, Iku kang angratoni, Jagad kabeh ingkang mengku, Juluk Ratu Amisan, Sirep musibating bumi, Wong nakoda milu manjing ing samuwan,”

“Kemudian kelak akan datang Tunjung putih semune Pudak kasungsang. Lahir di bumi Mekah. Menjadi raja di dunia, bergelar Ratu Amisan, redalah kesengsaraan di bumi, nakhoda ikut ke dalam persidangan.”


Perlambang Tunjung putih semune Pudak kasungsang memiliki makna seorang pemimpin yang masih tersembunyi berhati suci dan bersih. Inilah seorang pemimpin yang dikenal banyak orang dengan nama “Satrio Piningit”. Lahir di bumi Mekah merupakan perlambang bahwa pemimpin tersebut adalah seorang Islam sejati yang memiliki tingkat ketauhidan yang sangat tinggi.
Sedangkan bait 28 tertulis :
“Prabu tusing waliyulah, Kadhatone pan kekalih, Ing Mekah ingkang satunggal, Tanah Jawi kang sawiji, Prenahe iku kaki, Perak lan gunung Perahu, Sakulone tempuran, Balane samya jrih asih, Iya iku ratu rinenggeng sajagad.”

“Raja utusan waliyullah. Berkedaton dua di Mekah dan Tanah Jawa. Letaknya dekat dengan gunung Perahu, sebelah barat tempuran. Dicintai pasukannya. Memang raja yang terkenal sedunia.”

Bait ini menggambarkan bahwa pemimpin tersebut adalah hasil didikan atau tempaan seorang Waliyullah (Aulia) yang juga selalu tersembunyi. Berkedaton di Mekah dan Tanah Jawa merupakan perlambang yang bermakna bahwa pemimpin tersebut selain ber-Islam sejati namun juga berpegang teguh pada kawruh Jawa (ajaran leluhur Jawa tentang laku utama). Sedangkan gunung Perahu seperti telah disinggung di atas adalah Lebak Cawéné. Kembali lagi, dimana tempatnya ? Kita telah membaca bait 22 di atas. Ya di Semarang Tembayat itulah tempatnya. Sedangkan tempuran adalah pertemuan dua sungai di muara yang biasanya digunakan untuk tempat bertirakat ”kungkum” bagi orang Jawa. Namun di sini tempuran bermakna ”watu gilang” sebagai tempat pertemuan alam fisik dan alam gaib. Dalam budaya spiritual Jawa keberadaan watu gilang sangat lekat dengan eksistensi seorang raja. Insya Allah.. Pemimpin tersebut akan mampu memimpin Nusantara ini dengan baik, adil dan membawa kepada kesejahteraan rakyat, serta menjadikan Nusantara sebagai ”barometer dunia” (istilah Bung Karno : ”Negara Mercusuar”).
Bait-bait Terakhir Ramalan Joyoboyo
Dalam bait-bait terakhir ramalan Joyoboyo digambarkan suasana negara yang kacau penuh carut marut serta terjadi kerusakan moral yang luar biasa. Namun dengan adanya fenomena tersebut kemudian digambarkan munculnya seseorang yang arif dan bijaksana yang mampu mengatasi keadaan. Berikut adalah cuplikan bait-bait tersebut yang menggambarkan ciri-ciri atau karakter seseorang itu :
159.
selet-selete yen mbesuk ngancik tutuping tahun sinungkalan dewa wolu, ngasta manggalaning ratu; bakal ana dewa ngejawantah; apengawak manungsa; apasurya padha bethara Kresna; awatak Baladewa; agegaman trisula wedha; jinejer wolak-waliking zaman; …

selambat-lambatnya kelak menjelang tutup tahun (sinungkalan dewa wolu, ngasta manggalaning ratu); akan ada dewa tampil; berbadan manusia; berparas seperti Batara Kresna; berwatak seperti Baladewa; bersenjata trisula wedha; tanda datangnya perubahan zaman; …

160.
“ iku tandane putra Bethara Indra wus katon, tumeka ing arcapada ambebantu wong Jawa

 itulah tanda putra Batara Indra sudah nampak,datang di bumi untuk membantu orang Jawa

162.
“bala prewangan makhluk halus padha baris, pada rebut benere garis,tan kasat mata, tan arupa; sing madhegani putrane Bethara Indra; agegaman trisula wedha; momongane padha dadi nayaka perang perange tanpa bala; sakti mandraguna tanpa aji-aji

…; pasukan makhluk halus sama-sama berbaris, berebut garis yang benar, tak kelihatan, tak berbentuk; yang memimpin adalah putra Batara Indra, bersenjatakan trisula wedha; para asuhannya menjadi perwira perang; jika berperang tanpa pasukan; sakti mandraguna tanpa azimat

163.
apeparap pangeraning prang; tan pokro anggoning nyandhang; ning iya bisa nyembadani ruwet rentenging wong sakpirang-pirang; …

bergelar pangeran perang; kelihatan berpakaian kurang pantas; namun dapat mengatasi keruwetan banyak orang; …

164.
 mumpuni sakabehing laku; nugel tanah Jawa kaping pindho; ngerahake jin setan; kumara prewangan, para lelembut ke bawah perintah saeko proyo kinen ambantu manungso Jawa padha asesanti trisula weda; landhepe triniji suci; bener, jejeg, jujur; kadherekake Sabdopalon lan Noyogenggong

…; menguasai seluruh ajaran (ngelmu); memotong tanah Jawa kedua kali; mengerahkan jin dan setan; seluruh makhluk halus berada di bawah perintahnya bersatu padu membantu manusia Jawa berpedoman pada trisula weda; tajamnya tritunggal nan suci; benar, lurus, jujur; didampingi Sabdopalon dan Noyogenggong

166.
idune idu geni; sabdane malati; sing mbregendhul mesti mati; ora tuwo, enom padha dene bayi; wong ora ndayani nyuwun apa bae mesthi sembada; garis sabda ora gentalan dina; beja-bejane sing yakin lan tuhu setya sabdanira; tan karsa sinuyudan wong sak tanah Jawa; nanging inung pilih-pilih sapa

ludahnya ludah api, sabdanya sakti (terbukti), yang membantah pasti mati; orang tua, muda maupun bayi; orang yang tidak berdaya minta apa saja pasti terpenuhi; garis sabdanya tidak akan lama; beruntunglah bagi yang yakin dan percaya serta menaati sabdanya; tidak mau dihormati orang se tanah Jawa; tetapi hanya memilih beberapa saja

167.
waskita pindha dewa; bisa nyumurupi lahire mbahira, buyutira, canggahira; pindha lahir bareng sadina; ora bisa diapusi marga bisa maca ati; wasis, wegig, waskita; ngerti sakdurunge winarah; bisa pirsa mbah-mbahira; angawuningani jantraning zaman Jawa; ngerti garise siji-sijining umat; Tan kewran sasuruping zaman

pandai meramal seperti dewa; dapat mengetahui lahirnya kakek, buyut dan canggah anda; seolah-olah lahir di waktu yang sama; tidak bisa ditipu karena dapat membaca isi hati; bijak, cermat dan sakti; mengerti sebelum sesuatu terjadi; mengetahui leluhur anda; memahami putaran roda zaman Jawa; mengerti garis hidup setiap umat; tidak khawatir tertelan zaman

168.
mula den upadinen sinatriya iku; wus tan abapa, tan bibi, lola; awus aputus weda Jawa; mung angandelake trisula; landheping trisula pucuk; gegawe pati utawa utang nyawa; sing tengah sirik gawe kapitunaning liyan; sing pinggir-pinggir tolak colong njupuk winanda

oleh sebab itu carilah satria itu; yatim piatu, tak bersanak saudara; sudah lulus weda Jawa; hanya berpedoman trisula; ujung trisulanya sangat tajam; membawa maut atau utang nyawa; yang tengah pantang berbuat merugikan orang lain; yang di kiri dan kanan menolak pencurian dan kejahatan

170.
ing ngarsa Begawan; dudu pandhita sinebut pandhita; dudu dewa sinebut dewa; kaya dene manungsa; …

di hadapan Begawan; bukan pendeta disebut pendeta; bukan dewa disebut dewa; namun manusia biasa; …

171.
aja gumun, aja ngungun; hiya iku putrane Bethara Indra; kang pambayun tur isih kuwasa nundhung setan; tumurune tirta brajamusti pisah kaya ngundhuh; hiya siji iki kang bisa paring pituduh marang jarwane jangka kalaningsun; tan kena den apusi; marga bisa manjing jroning ati; ana manungso kaiden ketemu; uga ana jalma sing durung mangsane; aja sirik aja gela; iku dudu wektunira; nganggo simbol ratu tanpa makutha; mula sing menangi enggala den leluri; aja kongsi zaman kendhata madhepa den marikelu; beja-bejane anak putu

jangan heran, jangan bingung; itulah putranya Batara Indra; yang sulung dan masih kuasa mengusir setan; turunnya air brajamusti pecah memercik; hanya satu ini yang dapat memberi petunjuk tentang arti dan makna ramalan saya; tidak bisa ditipu; karena dapat masuk ke dalam hati; ada manusia yang bisa bertemu; tapi ada manusia yang belum saatnya; jangan iri dan kecewa; itu bukan waktu anda; memakai lambang ratu tanpa mahkota; sebab itu yang menjumpai segeralah menghormati; jangan sampai terputus, menghadaplah dengan patuh; keberuntungan ada di anak cucu

172.
iki dalan kanggo sing eling lan waspada; ing zaman kalabendu Jawa; aja nglarang dalem ngleluri wong apengawak dewa; cures ludhes saka braja jelma kumara; aja-aja kleru pandhita samusana; larinen pandhita asenjata trisula wedha; iku hiya pinaringaning dewa

inilah jalan bagi yang ingat dan waspada; pada zaman kalabendu Jawa; jangan melarang dalam menghormati orang berupa dewa; yang menghalangi akan sirna seluruh keluarga; jangan keliru mencari dewa; carilah dewa bersenjata trisula wedha; itulah pemberian dewa

173.
nglurug tanpa bala; yen menang tan ngasorake liyan; para kawula padha suka-suka; marga adiling pangeran wus teka; ratune nyembah kawula; angagem trisula wedha; para pandhita hiya padha muja; hiya iku momongane kaki Sabdopalon; sing wis adu wirang nanging kondhang; genaha kacetha kanthi njingglang; nora ana wong ngresula kurang; hiya iku tandane kalabendu wis minger; centi wektu jejering kalamukti; andayani indering jagad raya; padha asung bhekti

menyerang tanpa pasukan; bila menang tak menghina yang lain; rakyat bersuka ria; karena keadilan Yang Kuasa telah tiba; raja menyembah rakyat; bersenjatakan trisula wedha; para pendeta juga pada memuja; itulah asuhannya Sabdopalon; yang sudah menanggung malu tetapi termasyhur; segalanya tampak terang benderang; tak ada yang mengeluh kekurangan; itulah tanda zaman kalabendu telah usai; berganti zaman penuh kemuliaan; memperkokoh tatanan jagad raya; semuanya menaruh rasa hormat yang tinggi

Sampai di sini kita akan dapat mulai memahami siapakah yang dikatakan oleh Prabu Joyoboyo dengan istilah “Putra Betara Indra” itu ? Bait-bait tersebut telah mengurai secara rinci tentang ciri-ciri dan karakter orang tersebut. Putra Betara Indra tidak lain dan tidak bukan adalah Waliyullah (aulia) yang tertulis di dalam sinom bait 28 pada Serat Musarar Joyoboyo. Perlambang paras Kresna dan watak Baladewa bermakna satria pinandhita. Karena hakekat dua bersaudara Kresna dan Baladewa (Krishna Balarama) melambangkan kepribadian Tuhan Yang Maha Esa. Dimana Kresna melambangkan pencipta, sedangkan Baladewa melambangkan potensi kreativitas­nya. Dua bersaudara Kresna dan Baladewa menghabiskan masa kanak-kanaknya sebagai penggembala sapi. Dengan hakekat ini setidaknya kita dapat meraba bahwa Putra Betara Indra adalah juga “Budak Angon” (Anak Gembala) yang telah dikatakan oleh Prabu Siliwangi di dalam Uga Wangsit Siliwangi.
Ramalan Satrio Piningit Ronggowarsito
Di dalam ramalan Ronggowarsito dipaparkan ada tujuh Satrio Piningit yang akan muncul sebagai tokoh yang di kemudian hari akan memerintah atau memimpin wilayah seluas wilayah “bekas” kerajaan Majapahit, yaitu : Satrio Kinunjoro Murwo Kuncoro, Satrio Mukti Wibowo Kesandung Kesampar, Satrio Jinumput Sumelo Atur, Satrio Lelono Topo Ngrame, Satrio Hamong Tuwuh, Satrio Boyong Pambukaning Gapuro, Satrio Pinandhito Sinisihan Wahyu. Berkenaan dengan itu, banyak kalangan yang kemudian mencoba menafsirkan ke-tujuh Satrio Piningit itu adalah sebagai berikut :

SATRIO KINUNJORO MURWO KUNCORO.
Tokoh pemimpin yang akrab dengan penjara (Kinunjoro), yang akan membebaskan bangsa ini dari belenggu keterpenjaraan dan akan kemudian menjadi tokoh pemimpin yang sangat tersohor diseluruh jagad (Murwo Kuncoro). Tokoh yang dimaksud ini ditafsirkan sebagai Soekarno, Proklamator dan Presiden Pertama Republik Indonesia yang juga Pemimpin Besar Revolusi dan pemimpin Rezim Orde Lama. Berkuasa tahun 1945-1967.

SATRIO MUKTI WIBOWO KESANDUNG KESAMPAR.
Tokoh pemimpin yang berharta dunia (Mukti) juga berwibawa/ditakuti (Wibowo), namun akan mengalami suatu keadaan selalu dipersalahkan, serba buruk dan juga selalu dikaitkan dengan segala keburukan / kesalahan (Kesandung Kesampar). Tokoh yang dimaksud ini ditafsirkan sebagai Soeharto, Presiden Kedua Republik Indonesia dan pemimpin Rezim Orde Baru yang ditakuti. Berkuasa tahun 1967-1998.

SATRIO JINUMPUT SUMELA ATUR.
Tokoh pemimpin yang diangkat/terpungut (Jinumput) akan tetapi hanya dalam masa jeda atau transisi atau sekedar menyelingi saja (Sumela Atur). Tokoh yang dimaksud ini ditafsirkan sebagai BJ Habibie, Presiden Ketiga Republik Indonesia. Berkuasa tahun 1998-1999.

SATRIO LELONO TAPA NGRAME.
Tokoh pemimpin yang suka mengembara / keliling dunia (Lelono) akan tetapi dia juga seseorang yang mempunyai tingkat kejiwaan Religius yang cukup / Rohaniawan (Tapa Ngrame). Tokoh yang dimaksud ini ditafsirkan sebagai KH. Abdurrahman Wahid, Presiden Keempat Republik Indonesia. Berkuasa tahun 1999-2000.

SATRIO PININGIT HAMONG TUWUH.
Tokoh pemimpin yang muncul membawa kharisma keturunan dari moyangnya (Hamong Tuwuh). Tokoh yang dimaksud ini ditafsirkan sebagai Megawati Soekarnoputri, Presiden Kelima Republik Indonesia. Berkuasa tahun 2000-2004.

SATRIO BOYONG PAMBUKANING GAPURO.
Tokoh pemimpin yang berpindah tempat (Boyong) dan akan menjadi peletak dasar sebagai pembuka gerbang menuju tercapainya zaman keemasan (Pambukaning Gapuro). Banyak pihak yang menyakini tafsir dari tokoh yang dimaksud ini adalah Susilo Bambang Yudhoyono. Ia akan selamat memimpin bangsa ini dengan baik manakala mau dan mampu mensinergikan dengan kekuatan Sang Satria Piningit atau setidaknya dengan seorang spiritualis sejati satria piningit yang hanya memikirkan kemaslahatan bagi seluruh rakyat Indonesia sehingga gerbang mercusuar dunia akan mulai terkuak. Mengandalkan para birokrat dan teknokrat saja tak akan mampu menyelenggarakan pemerintahan dengan baik. Ancaman bencana alam, disintegrasi bangsa dan anarkhisme seiring prahara yang terus terjadi akan memandulkan kebijakan yang diambil.

SATRIO PINANDITO SINISIHAN WAHYU.
Tokoh pemimpin yang amat sangat Religius sampai-sampai digambarkan bagaikan seorang Resi Begawan (Pinandito) dan akan senantiasa bertindak atas dasar hukum / petunjuk Allah SWT (Sinisihan Wahyu). Dengan selalu bersandar hanya kepada Allah SWT, Insya Allah, bangsa ini akan mencapai zaman keemasan yang sejati.

Selain masing-masing satrio itu menjadi ciri-ciri dari masing-masing pemimpin NKRI pada setiap masanya, ternyata tujuh satrio piningit itu melambangkan tujuh sifat yang menyatu di dalam diri seorang pandhita yang telah kita tahu adalah Putra Betara Indra yang juga Budak Angon seperti telah diungkap di atas. Berikut ini adalah sifat-sifat “Satrio Piningit” sejati hasil bedah hakekat bapak Budi Marhaen terhadap apa yang telah ditulis oleh R.Ng. Ronggowarsito :

Satrio Kinunjoro Murwo Kuncoro
melambangkan orang yang sepanjang hidupnya terpenjara namun namanya harum mewangi. Sifat ini hanya dimi­liki oleh orang yang telah menguasai Artadaya (ma’rifat sebenar-benar ma’rifat). Diberikan anugerah kewaskitaan atau kesaktian oleh Allah SWT, namun tidak pernah menampakkan kesaktiannya itu. Jadi sifat ini melambangkan orang berilmu yang amat sangat tawadhu’.

Satrio Mukti Wibowo Kesandung Kesampar
melambangkan orang yang kaya akan ilmu dan berwibawa, namun hidupnya kesandung kesampar, artinya penderitaan dan pengorbanan telah menjadi teman hidupnya yang setia. Tidak terkecuali fitnah dan caci maki selalu menyertainya. Semua itu dihadapinya dengan penuh kesabaran, ikhlas dan tawakal.

Satrio Jinumput Sumelo Atur
melambangkan orang yang terpilih oleh Allah SWT guna melaksanakan perintah-perintah-Nya dan menjalankan missi-Nya. Hal ini dibuktikan dengan pemberian anugerah-Nya berupa ilmu laduni kepada orang tersebut.

Satrio Lelono Topo Ngrame
melambangkan orang yang sepanjang hidupnya melakukan perjalanan spiritual dengan melakukan tasawuf hidup (tapaning ngaurip). Bersikap zuhud dan selalu membantu (tetulung) kepada orang-orang yang dirundung kesulitan dan kesusahan dalam hidupnya.

Satrio Hamong Tuwuh
melambangkan orang yang memiliki dan membawa kharisma leluhur suci serta memiliki tuah karena itu selalu mendapatkan pengayoman dan petunjuk dari Allah SWT. Dalam budaya Jawa orang tersebut biasanya ditandai dengan wasilah memegang pusaka tertentu sebagai perlambangnya.

Satrio Boyong Pambukaning Gapuro
melambangkan orang yang melakukan hijrah dari suatu tempat ke tempat lain yang diberkahi Allah SWT atas petunjuk-Nya. Hakekat hijrah ini adalah sebagai perlambang diri menuju pada kesempurnaan hidup (kasampurnaning ngaurip). Dalam kaitan ini maka tempat yang ditunjuk itu adalah Lebak Cawéné = Gunung Perahu = Semarang Tembayat.

Satrio Pinandhito Sinisihan Wahyu
melambangkan orang yang memiliki enam sifat di atas. Sehingga orang tersebut digambarkan sebagai seorang pinandhita atau alim yang selalu mendapatkan petunjuk dari Allah SWT. Maka hakekat Satrio Pinandhito Sinisihan Wahyu adalah utusan Allah SWT atau bisa dikatakan seorang Aulia (waliyullah)

(sumber sabdopalon.com)

Post a Comment for "Hadirnya putra batara indra atau satrio piningit"